Oleh: Dr. Muchamad Taufiq, S.H.,M.H.,CLMA
(Ketua Bidang Organisasi PMI Provinsi Jawa Timur)
Puncak Ramadan telah terdaki. Semoga Allah yang memiliki mata melebihi ketajaman cahaya matahari serta memiliki kasih dan sayang seteduh cahaya rembulan, menggolongkan kita sebagai orang yang memiliki keikhlasan hati, dan hati yang selamat.
Orang yang kelak akan masuk syurga dan berjumpa dengan Allah SWT, tidak identik dengan orang yang banyak ilmunya saja, tidak identik dengan yang banyak ibadah dan amalnya saja. Ternyata yang akan berjumpa dengan Allah adalah orang yang berilmu dan beramal yang berbuah hati yang ikhlas dan selalu ridha menerima ketetapan Allah SWT.
Hari ini atau esok menandai perpisahan kita dengan bulan suci Ramadan. Sebuah bulan yang atas izin Allah, di salah satu malamnya terdapat keutamaan untuk beribadah yang setara dengan ibadah seribu bulan. Kira-kira menurut anak muda zaman now, sama dengan jalan tol yang bebas hambatan.
Kita telah berpisah dengan bulan penuh limpahan rahmat dan ampunan. Kita telah ditinggalkan oleh bulan yang puasa didalamnya menutupi salah dan dosa. Kita telah ditinggalkan oleh bulan diturunkannya al-Furqan. Kita hanya dapat berdoa, semoga atas izin Allah akan bertemu lagi dengan bulan Ramadan yang akan datang. Betapa banyak orang-orang yang kita kasihi dan kita sayangi, orang tua kita, saudara, kerabat dan tetangga; mereka yang dulu pernah bersama kita, masih terbayang senyuman mereka di pelupuk mata, tapi kini mereka tiada lagi, mereka tengah tidur panjang menuju keabadian, hanya kenangan yang tak mungkin terlupa. Marilah berdamai, bersahabat dengan baik, yang muda menghormati yang tua, yang tua menyayangi yang muda. Jangan tercerai-berai dan silang sengketa karena demikianlah Islam mengajarkan kepada kita.
Terdapat 3 hikmah dari puasa Ramadan yaitu :
1) Ramadan sebagai Pesan Moral (Tahdzibun Nafsi);
2) Ramadan sebagai Pesan Sosial; dan
3) Ramadan sebagai Pesan Jihad.
Pertama, Abu Hamid al-Ghazali berkata: bahwa pada diri manusia terdapat 4 sifat, 3 sifat pertama berpotensi untuk mencelakakan manusia, sementara satu sifat yang lain berpotensi mengantarkan manusia menuju pintu kebahagiaan. Sifat-sifat dimaksud adalah :
(1) sifat kebinatangan, tanda-tandanya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tanpa rasa malu;
(2) sifat buas, tanda-tandanya banyaknya kezaliman dan sedikit keadilan. Yang kuat selalu menang sedangkan yang lemah selalu kalah meskipun benar;
(3) sifat syaithaniyah, tanda-tandanya mempertahankan hawa nafsu yang menjatuhkan martabat manusia;
(4) sifat rububiyah, ditandai dengan keimanan, ketakwaan dan kesabaran.
Muslim yang dapat mengoptimalkan dengan baik sifat rububiyah di dalam jiwanya niscaya jalan hidupnya disinari oleh cahaya Al-Qur`an, perilakunya dihiasi budi pekerti yang luhur (akhlaqul karimah). Selanjutnya, ia akan menjadi insan muttaqin, insan yang menjadi harapan setiap orang.
Namun ketika sifat `kebinatangan-kebuasan-syaithaniyah` ini lebih mewarnai sebuah masyarakat atau bangsa, dimana keadilan akan tergusur oleh kezaliman, sulit membedakan mana yang hibah mana yang suap, penguasa lupa akan tanggungjawabnya, rakyat tidak sadar akan kewajibannya, kebaikan menjadi sesuatu yang terasing, ketaatan akhirnya dikalahkan oleh kemaksiatan.
Jika hal itu terjadi, niscaya keadaan masyarakat yang demikian sangat mengkhawatirkan. Kita segera ber-istighfar, segera bertaubat, segera bersujud memohon ampunan-Nya.
Jadi pesan moral Ramadan adalah kita harus selalu mampu mengendalikan hawa nafsu sebagai musuh yang tidak pernah berdamai. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Madzahib fit Tarbiyah bahwa di dalam diri setiap manusia sejak dilahirkan, terdapat naluri marah, naluri pengetahuan dan naluri sahwat.
Dari ketiga naluri ini, yang paling sulit untuk dikendalikan dan dibersihkan adalah naluri Syahwat. Baik syahwat dalam arti `kamus`, maupun syahwat terhadap ekonomi dan kekuasaan. Pada kondisi demikian, wajib kita ingat firman Allah dalam QS. al `Alaq:6-7 yang artinya, `Manusia cenderung lupa diri ketika dalam kondisi yang mapan.`
Kemapanan karena ekonominya, kekuasaannya atau ilmunya. Saat itu, manusia cenderung lupa diri, cenderung lentur dan luntur.
Kedua, pesan Sosial Ramadan adalah mengeluarkan zakat fithrah kepada Ashnafuts Tsamaniyah. Hasil puasa ramadan kita harus bisa dirasakan secara tindakan nyata yang salah satu bentuknya memberikan zakat fitrah. Zakat fitrah dapat menjalin tali silaturahmi karena mengandung semangat untuk berbagi.
Zakat fitrah mampu membuka kebuntuan dan kesenjangan komunikasi khususnya antara yang berkelebihan dengan yang kekurangan. Di saat kondisi masyarakat kesulitan karena ekonomi yang semakin memberatkan maka fungsi zakat fitrah akan sangat membantu beban hidup saudara kita.
Sementara bagi pemberi zakat mendapatkan jaminan dari Allah SWT. Ingat bahwa perbedaan status sosial diantara kita hakikatnya merupakan batu uji bagi kita untuk menentukan kualitas keimanan masing-masing. Banyak yang sukses memenangkan ujian dengan kemiskinan namun tidak sedikit yang gagal dalam ujian dengan kekayaan.
Ketiga, pesan Jihad yang dimaksud di sini, bukan jihad dalam pengertiannya yang sempit; yakni berperang mengangkat senjata di jalan Allah. Jihad besar justru jihad melawan diri kita sendiri. Jihad dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, adalah jihad mendorong terciptanya sebuah sistem sosial yang bermartabat, berkeadilan dan sejahtera serta bersendikan Pancasila atas nilai-nilai agama dan ketaatan kepada Allah. Makna jihad harus mengacu pada pengentasan masalah-masalah sosial.
Selayaknya pada momentum pasca Ramadan ini, gagasan-gagasan baru juga harus dikedepankan untuk mengentaskan masalah yang selama ini membelenggu kemajuan umat Islam Indonesia pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Pengertian jihad secara komprehensif adalah `Mengecilkan arti segala sesuatu yang dimilikinya demi mendapatkan keridaan Allah`. Islam haruslah didesain dan bergerak pada kemaslahatan masyarakat dan kemajuan umat demi mencapai keridaan Allah.
Sebagai manusia yang ibarat terlahir kembali setelah mengikuti Pendidikan dan Latihan `Puasa Ramadan` maka kita mendapat 3 Sertifikat Keahlian yaitu:
1) Mengendalikan Hawa Nafsu;
2) Memberi Maaf; dan
3) Berbuat Baik pada Sesama Manusia.
Tiga jenis keahlian itu tentunya didapat berdasarkan 3 Aspek Pokok yang diajarkan oleh Islam yaitu : 1)Iman; 2)Ilmu; dan 3)Amal. Akhirnya kita harus senantiasa merasa takut karena pahala puasa kita tidak diterima Allah SWT dan merasa takut jika dosa-dosa kita tidak diampuni Allah SWT. Kita harus senantiasa berdoa agar nilai-nilai Ramadan mampu kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari pasca Ramadan. (*)