"Nuwun sewu nggih, kula badhe ngrumput maleh. Kala wau niku toya seganten nembe pasang, toyane minggah. Nek mboten ngrumput nggih mboten angsal damel, mbenjeng mboten wonten sing kangge tumbas sarem"
Wanita tua itu minta permisi. Artinya: "Maaf ya, saya akan mencari rumput lagi. Tadi itu air laut sedang pasang, airnya naik. Kalau tidak merumput ya tidak akan dapat hasil, besok-besok tidak ada yang dipakai membeli garam."
Padahal waktu itu sudah pukul 16.00, saat-saat wanita seusianya mestinya sudah mandi dan duduk-duduk santai di rumahnya. Tetapi Mbok Tumikem masih ingin mencebur ke pantai. Maka dengan sisa-sisa tenaga yang ringgih, ia berdiri sambil menenteng wangkilnya. Wangkil adalah alat semacam cangkul kecil dan seberat sabit. Lalu menghampiri keranjang plastik merahnya yang selalu dibawa ke mana-mana saat mencari rumput laut di Pantai Klayar.
Perempuan yang diperkirakan usia 60-an tahun itu (ia tidak tau persis berapa umurnya) mengaku tidak takut dengan panas matahari dan ganasnya ombak pantai selatan di Kec. Punung, Kab. Pacitan itu. Setiap hari rata-rata 5-8 jam di pantai mencari rumput laut yang tumbuh liar. Kakinya lebih sering terendam air laut, dan kain jariknya basah kuyup.
Terkadang ia tergelincir dan kakinya lecet terkena tiram. Ia sudah merasakan risiko itu, misalnya ketika satu minggu tidak mencari rumput laut karena terpeleset jatuh dan kakinya terkilir.
Sambil menanti surutnya air laut, kepada Gelora, perempuan asal Desa Bomo itu menuturkan liku-liku sebagai wong ndeso yang utun dan sepenuh hidupnya bergantung pada alam sekitarnya. Ia tak mengenal bising kota dengan segala hingar-bingarnya, selain hanya melalui layar TV 14 inci di rumahnya. Ibu tiga anak dan nenek tiga cucu ini tinggal bersama keluarga anak laki-lakinya, Kasno. Kasno setiap hari juga ikut mencari rumput laut ketika tidak menggarap ladang atau saat sedang nganggur sebagai buruh serabutan di desanya.
Sehari Rp 30.000
Dalam sehari bekerja, mbok Tumikem rata-rata mampu mendapatkan dua karung goni rumput laut basah. Terkadang juga hanya dapat sekarung kalau air pasangnya lama. Pada waktu air laut pasang itu maka karang pantai yang ditumbuhi rumput laut ikut terendam, terkadang sampai setinggi lutut, kadang setinggi dada orang dewasa. Praktis pada saat pasang itu, mbok Tumi, Kasno, dan dua orang kawannya yaitu Yatini dan Tumirah, tidak bisa mengambil rumput.
Oleh Kasno rumput itu kemudian dibawa pulang. Setelah dicuci dengan air tawar agar bersih dari kotoran dan pasir-pasir laut, kemudian dijemur untuk dikeringkan. Setelah kering itulah rumput laut dijual kepada agen/pengepul Rp 2.500 per kilogram. Sekarung goni rumput basah, setelah kering bobotnya tinggal 5-6 kg saja. Kalau seharian bisa mengumpulkan dua karung rumput basah, berarti penghasilannya 2 x 6 kg x Rp 2.500 = Rp 30.000.
"Hoalah Mas.. namung saged kangge tumbas uwos kaleh sarem (hanya bisa untuk membeli beras dan garam)," tambah Kasno berterus-terang.
Bagi mereka garam dapur dan cabe punya peran penting. Dua bahan itulah yang akan membuat makanan sehari-harinya tidak hambar untuk disantap. Tetapi cabe, kelapa, dan sayuran biasanya menanam sendiri dan tinggal memetik dari ladangnya.
Terkadang ia tidak mencari rumput. Atau rumput yang sudah didapat belum kering karena faktor cuaca. Yang jelas, rumput laut Pantai Klayar jenis yang jelek. Ia juga tidak tau untuk apa, tetapi kabar-kabar dari pengepulnya untuk bahan tambahan produk makanan agar-agar.
Anaknya Lulus SLTA
Cukupkah? Kasno bersyukur dengan kesehariannya ini bisa membesarkan dan meluluskan dua anaknya dari SMEA dan STM. Kini kedua cucu Mbok Tumi itu bekerja di Solo. Sedang seorang cucunya lagi masih sekolah.
Selain bertani seadanya di ladang yang berbatu kapur itu. Kasno juga menjadi buruh serabutan, mencari rumput laut, dan membuat gula kelapa yang dikerjakan isterinya. Gula itu terbuat dari nira yang diambil dari beberapa pohon kelapa miliknya. Bila gula kelapa itu sudah terkumpul banyak, lalu dijual ke pasar "krajan" di ibu kota Kec. Punung.
Buat ibunya, Mbok Tumi, kebutuhan yang pasti harus dipenuhi adalah tembakau dan gambir. Tetapi dari hasil yang didapatnya sebagai pencari rumput laut, kebutuhan itu bisa dipenuhi. Untuk apa tembakau dan gambir? Sebagai perempuan desa yang masih kuno, Mbok Tumi tak bisa meninggalkan kebiasaan budaya leluhurnya, yaitu makan sirih atau "menginang". Kultur itu diterimanya secara turun-menurun dari leluhurnya. Dan tembakau itu dipakai sebagai susur.
Pantai Klayar sebenarnya baru dikembangkan. Beberapa warung mulai berdiri di sana. Tetapi menu yang ditawarkan umumnya masih makanan instan, yang mudah disimpan, karena pengunjung yang datang masih sedikit.
Sebenarnya keindahan pantai dan tebing-tebing yang ada cukup memesona. Sayang pantainya tak luas dan curam. Sehingga dalam kondisi tertentu, misalnya saat air laut surut, situasi pantai yang berpasir putih itu agak menakutkan. Selain itu separoh media jalan untuk menuju ke sana masih berupa jalan makadam, berkelok-kelok dan turun-naik.
Menjawab Gelora apakah ada rencana ikut buka warung saja untuk Mbok Tumi yang sudah renta itu? Kasno mengatakan ibunya tidak mau. Demikian juga isterinya. Alasannya karena pengunjungnya masih sedikit. Baru tampak agak banyak ketika pada musim liburan, seperti liburan sekolah atau hari raya. Sedangkan pada hari-hari biasa pengunjung pantai itu tidak lain ya Mbok Tumi, Kasno, Yatini, Tumirah, dan para pemilik warung di sana.
"Warung sing sampun wonten kemawon langkung kathah sepine, hla nek warunge ditambahi maleh terus sinten sing numbasi," kata Kasno, bahwa warung yang ada saja lebih banyak sepinya, kalau warungnya ditambahi lagi nanti siapa yang membeli.
Itulah keluguan penduduk desa, yang hidup apa adanya dan bergantung sepenuhnya pada alam di sekitarnya. Mereka percaya jika alam itu dirawat baik-baik, maka akan memberi manfaat yang baik pula terhadap kehidupannya. (bs)
[Sumber: GELORA no.69/Tahun IX/2009]