Julius Arianus Mbusu: `Kontrak Mati` untuk PMI

Di usia 39 tahun, komitmen dan panggilan jiwa Julius Arianus Mbusu terhadap kemanusiaan, boleh dibilang semakin membara. Mengenal PMI baru tahun 1991 melalui seorang pengurus PMI Sidoarjo, yang juga pembina Pramuka. Begitu kenal KSR (Korps Suka Relawan) laki-laki berdarah Flores-Jawa itu langsung jatuh cinta. Kini pengabdiannya kian dalam dan kuat, baik di tingkat lokal, Jatim dan nasional.

"Di Sidoarjo saya 'Kontrak Mati' untuk relawan PMI," katanya kepada GELORA. Ia bersyukur eksistensinya diakui dan 'dikontrak mati'. "Karena dikontrak seumur hidup berarti saya didoakan untuk hidup lama," katanya.

Semangat dan humoris. Itulah khas penampilannya. Ia bisa memilah hal yang serius dan mana yang guyon. Kegigihannya menambah ilmu kerelawanan dan ke-PMI-an pantas diacungi jempol. Ia sadar bahwa masuk PMI harus punya skill, agar tidak "ngebak-ngebaki" organisasi. Karena semangat itu pula statusnya kini sudah diakui PMI Pusat sebagai Asisten Pelatih. Panggilan kemanusiaan berskala nasional yang terbaru adalah gempa di Sumatera Barat. Ia ditunjuk PMI Pusat untuk tugas pada 4-20 November 2009, untuk menggantikan Saifulah Mulyono, sebagai wakil dari Jatim. Ia bertugas sebagai pendamping koordinator PMI Kab. Agam. Bergabung di Tim III, tugasnya melakukan pendampingan pada hal-hal teknis ke-gawat-darurat-an, seperti distribusi bantuan. Kebetulan di Sumbar ada beberapa Cabang PMI yang harus didampingi, yaitu Kota Padang sendiri, Agam, Kota Pariaman, Kab. Pariaman, dan Kab. Pesisir Selatan.

Pendamping teknis itu dimaksudkan memberikan masukan dan arahan kepada cabang setempat jika kurang paham mengenai teknis distribusi, logistik, posko, dsb. Bahkan di Agam ketika itu sampai harus dilakukan kursus singkat (sehari) mengenai logistik, sebab tenaga logistik andal sangat dibutuhkan sekali. "Kursus singkat itu sebenarnya tak perlu terjadi jika kapasitas SDM yang ada merata," katanya.

Belum hilang lelahnya dari Sumbar, seminggu kemudian ia ditunjuk lagi oleh PMI Pusat untuk pelatihan ToT (Training of the Trainer) tentang Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat (Early Warning System Community Base - EWS-CB) di Aceh. Ini merupakan ToT nasional kedua yang pernah diikutinya.

Titik Balik Sampit

J.A. Mbusu mengaku mengenal PMI secara kebetulan. Kisahnya, tahun 1991 itu ada Temu Relawan PMI se-Jatim di Seloreko-Malang. Kebetulan Cabang Sidoarjo, tempat tinggalnya selama ini, tidak punya relawan berusia muda. Tetapi Mbusu waktu itu sudah aktif di kepramukaan. Kebetulan pembina pramukanya juga pengurus PMI Sidoarjo, jadi tahu persis potensi Julius, lalu ia direkrut untuk Temu Relawan itu.

Sepulang dari Selorejo, ia dan 7 rekannya dipesan oleh pembina: "Tolong ramaikan PMI seperti di Pramuka." Sebab selanjutnya mereka didiklat KSR. Tentu saja organisasi KSR-nya lancar. Sesudah itu kebanjiran PMR dan KSR. Dari situlah Mbusu aktif, bahkan "dikontrak mati".

"Saya kan hanya lulusan SMA nyel (SMA saja). Tapi saya ingin bisa SMA plus. Tadinya saya mencari plusnya di Pramuka, tetapi setelah kenal PMI dan di sini tidak ada batasan usia, maka saya putuskan PMI adalah organisasi terakhir yang saya ikuti," kata J.A. Mbusu.

Sebagai penghoby masak sejak di kepramukaan, ia sering ditunjuk untuk bidang dapur umum (DU) setiap ada kegiatan kerelawanan dan pelatihan-pelatihan. Kenyang di bidang DU, akhirnya ia berkesempatan menambah ilmu di bidang lain, lalu diikutilah pelatihan PB, PMR Tingkat Menengah, dan PK (Perawatan Keluarga) di Jatim.

Peristiwa Sampit, baginya merupakan titik balik kompetensinya. Kebetulan kontrak kerjanya dengan sebuah perusahaan sedang habis, sehingga ketika ditunjuk untuk ikut menangani pengungsi Sampit di Sampang, ia bisa melaksanakan sampai sekitar 11 bulan. Di sinilah potensi Mbusu dicatat Divisi PB Pusat, maka ketika ada bencana ia sering ditunjuk oleh Pusat.

Sejarah terus berlanjut. Mbusu juga lolos seleksi pelatihan Tanggap Darurat Bencana (TDB) bagi manajer tingkat nasional di Salatiga. Jatim meloloskan 5 orang yaitu Mbusu, satu dari Jember, Kab. Kediri, Madiun, dan Lumajang.

Agustus 2009 lalu juga terpilih mengikuti ToT bidang TDB di Bali. Mbusu masuk rangking 4, dan temannya dari Lumajang rangking 10. Hadiahnya, para peringkat 1 sampai 10 itu dijanjikan akan dimobilisasi baik di operasional PB atau dalam fasilitator di pelatihan-pelatihan.

Mengalir Bagai Air

Ia sebenarnya bekerja di sebuah Perusahaan Kontraktor Pengadaan Barang dan Jasa. Ia mengaku beruntung punya pimpinan yang organisatoris dan berjiwa sosial tinggi, sehingga ia bisa atur waktu dan memegang komitmen bahwa ia tidak akan lari dari pekerjaan. Namun juga disampaikan bahwa ini panggilan kemanusiaan. Pernah ia nyaris tidak gajian, cutinya habis dan bahkan minus, karena banyak digunakan untuk tugas-tugas kemanusiaan.

Prinsip hidupnya mengalir begitu saja bagaikan air. Falsafahnya air laut, tak pernah putus asa menggapai daratan. Berulangkali gagal dan gagal terus. Air kembali ke lautan, tetapi tak pernah berhenti dan tak pernah putus asa.

Kendati pun jiwa-raganya banyak tercurah untuk PMI, Mbusu tidak mau dikatakan semua itu "demi PMI". "Kalau demi PMI, itu namanya naif dan sok. Yang baik ya demi saya pribadi. Hal itu karena saya senang PMI, jadi kalau nama saya baik maka otomatis PMI ikut baik," katanya diplomatis. (bs)

[Sumber: GELORA no.69/Tahun IX/2009]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *