Oleh: Cholid Maarif, S.Hum., M.Ag.
Ramadan dikenal sebagai bulan Alquran selain karena aspek historisnya yaitu sebagai pembeda dari tradisi puasa umat sebelum Islam. Namun juga lebih pada aspek tradisi dimana Alquran banyak disenandungkan oleh segenap lapisan umat muslim di seluruh penjuru dunia pada bulan suci ini, baik secara klasikal di pesantren tahfidz, secara kolosal tadarusan di musola dan masjid-masjid, maupun secara tersurat sebagai bacaan ibadah salat sunah maupun wajib.
Satu misal dalam contoh terakhir adalah bacaan surah Al-Fatihah yang dibaca secara berulang-ulang sebanyak minimalnya 40 kali per harinya oleh seorang muslim saat melakukan salat fardhu dan sunnah tarawih serta witir.
Jumlah tersebut masih bisa bertambah dua kali lipat lagi jika disusulkan dengan pembacaan Al-Fatihah dalam salat sunnah lainnya seperti sunnah rawatib, tahajjud, tasbih, hingga dhuha sebagaimana semarak di nuansa bulan Ramadan. Namun, yang patut menjadi renungan kita adalah: apakah kita sungguh-sungguh telah menyelami samudara makna Al-Fatihah saat melafalkan bacaan surah tersebut dalam salat?
Adalah Syaikh an Nawawi al-Bantani (w. 1316 H/ 1897 M) seorang ulama asal Banten dan menetap di Mekkah yang merintis penulisan tafsir Alquran berbahasa Arab pertama dari Nusantara.
Melalui karya tafsirnya berjudulMarohu Labid li Kasyf mana Quran Majidatau yang dikenal denganTafsir al-Munir li Maalim al-Tanzil, ia mampu sejajar dengan mufassir asal Mesir abad ke-19 seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menelurkan tafsir Al-Manar. Menjadi bukti bahwa ulama Nusantara telah diakui kredibilitasnya pada level internasional sejak masa lampau.
Dalam permulaan karya tafsirnya tersebut, Syaikh An-Nawawi mendahuluinya dengan penjelasan bahwa surah Al-Fatihah tergolong ke dalam surah Makkiyah atau ada juga yang berpendapat Madaniyah.
Ia terdiri dari tujuh ayat dimana ayat ketujuh berbunyi `shirot al-ladziina` sampai akhir jika memasukkan lafaz `basmalah` sebagai ayat pertama. Atau posisi ayat ketujuh diawali dengan lafaz `ghoiru al-maghdhuubi` sampai akhir jika lafaz `basmalah` tidak termasuk dalam Al-Fatihah.
Dari keterangan singkat ini kita ketahui betapa moderatnya Syaikh an-Nawawi dalam mengelaborasi minimalnya dua pendapat terkait posisi surah Al-Fatihah yang ditanggapi secara berbeda oleh para ulama masa itu.
Kemudian menginjak pada kandungan maknanya, Syaikh an-Nawawi mengungkapkan bahwa surah Al-Fatihah mengandung empat macam ilmu, yaitu: ilmu inti (al-ushul), ilmu cabang (al-furu), ilmu kesempurnaan (tahshil al-kamaalat), dan ilmu kisah-kisah (al-qishash). Ilmu inti terbagi menjadi dua yaitu tentang ketuhanan yang terkandung dalam ayat `alhamdulillahi rabbil aalamin` (segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam) dan tentang kenabian yang termaktub dalam ayat `alladzina anamta alaihim` (mereka yang telah Engkau beri nikmat) dan ayat kondisi akhirat dalam lafaz `maaliki yawmi al-diin` (Yang Merajai hari pembalasan).
Maksudnya, aspek kenabian adalah seperti orang-orang yang telah diberi kenikmatan yaitu para nabi hingga kenikmatan di akhirat.
Selanjutnya ilmu cabang yang terbagi menjadi dua unsur yaitu `maaliyah` (aspek harta) dan `badaaniyah` (aspek jasmani).
Kedua aspek tersebut terbagi kembali ke dalam urusan mata penghidupan berupa bidang `muamalah` (interaksi sosial) dan `munaakahat` (pernikahan) yang tidak lain mengandung aturan hukum berupa perintah dan larangan di dalamnya yang harus dipatuhi. Bagian makna kedua ini, masih dalam momentum Ramadan, mengingatkan kita akan pentingnya perintah untuk menunaikan pembayaran zakat fitrah (badaniyah) dan zakat harta (maaliyah) jika sudah mencapai ketentuan. Alih-alih meramaikan mall yang hanya memenuhi nafsu hedonis ke pusat-pusat perbelanjaan jelang lebaran.
Ketiga adalah ilmu yang mengantar pada kesempurnaan yaitu ilmu akhlak yang berupa sikap istiqomah (konsisten) dalam menempuh suatu jalan (al-thoriqoh) yang ditandai dengan penggalan ayat `iyyaka nastain` (hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan).
Jalan yang dimaksudkan disini adalah jalan syariat yang lurus sebagaimana tersurat pada lafaz `shiroth al-mustaqim` (jalan yang lurus). Keempat adalah ilmu atau pengetahuan tentang kisah-kisah yang berisikan pemberitaan ihwal umat-umat terdahulu dengan gambaran (1) orang-orang yang bahagia yaitu para nabi dan selainnya sebagaimana redaksi `alladziina anamta alaihim`. Serta (2) orang-orang yang menderita seperti kaum kafir sebagaimana redaksi ayat `ghoiri al-maghdhuubi alaihim wa laa al-dzoollin` (bukan seperti mereka yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang tersesat).
Demikianlah penjelasan sebagian makna surah Al-Fatihah yang telah diwariskan ulama Nusantara pendahulu semoga mampu menghantarkan kita pada kekhusukan ritual dan kekhusukan sosial. Waallahu alam bi murodihi. Blitar, 09 April 2023 pk. 07.20 WIB. (*)